Rabu, 01 Juni 2011

Di Sebuah Becak Mesin

“Sampai di Medan nanti, kita naik becak mesin ya, Sel,” ucap perempuan paruh baya di sebelahku. Aku seolah tak percaya mendengar inisiatif yang dilontarkannya.

Sejak kepergian suaminya delapan tahun lalu, Kak Masda tidak ingin pergi ke mana-mana. Kalau kemarin suamiku tidak ikut membujuknya, dia tidak akan sampai ke Balige. Sampai di Balige, Kak Rani yang notabene kakak ipar kami kemudian membujuknya pula untuk menikmati indahnya danau toba.

Aku berbeda. Ada keriangan di dalam hatiku di setiap perjalanan. Sejak kuliah aku sudah meninggalkan Toraja dan tinggal di Jakarta. Setelah menikah aku pun harus mendampingi suamiku berpindah tugas dari satu kota ke kota lain.

Kijang Innova yang membawa kami—para penumpang dari Kota Balige menuju Kota Medan baru beberapa menit lalu meluncur. Di luar, gerimis mewarnai wajah siang di kota yang berada di tepian danau toba ini.

“Kita naik taxi saja, Kak. Kenapa harus naik becak mesin? Kakak tidak takut naik becak mesin?” jawabku sambil menatapnya. Ide naik becak mesin yang diusulkan Kak Masda tidak menarik bagiku, karena Medan masih asing bagiku. Ini kunjunganku yang pertama kalinya di kota ini

“Kenapa harus takut, Sel? Dulu, waktu masih tinggal di Medan, aku sering naik becak mesin. Menurutku becak mesin adalah kenderaan yang menyenangkan dan aman dinaiki. Dulu aku sering naik becak bersama anak-anak ke rumah ibu, berbelanja ke pajak atau urusan lainnya. Anakku pun diantar jemput naik becak mesin ke sekolahnya.”

“Sebelum ada becak mesin, di Medan banyak beroperasi becak dayung. Modelnya sama seperti becak mesin, bedanya becak dayung dijalankan dengan sepeda. Tapi seiring perjalanan waktu becak dayung jarang ditemui lagi di Medan, sebab keberadaannya dapat menyebabkan kemacetan lalu lintas dan tidak efektif jika digunakan untuk jarak tempuh yang lumayan jauh,” lanjut Kak Masda.

Aku berharap perjalanan ini tidak cepat sampai di Medan, biar rencana Kak Masda untuk naik becak batal dan kami akan dijemput oleh supir Kak Intan, kakak kandung Kak Masda yang tinggal di Medan. Harapanku sia-sia, perjalanan yang memakan waktu sekitar lima jam lebih berjalan mulus. Tak ada kendala.

Mobil Kijang Innova berhenti di jalan Sisingamangaraja. Kami meluruskan punggung, sebelum membawa turun barang-barang kami. Kota Medan di waktu malam tampak indah dengan lampu-lampu yang menerangi jalan. Sejumlah toko, warung makan, hotel, travel dan sebagainya masih terus menjalankan rutinitasnya, membuat suasana malam tambah indah dan semarak. Sebagian penumpang ada yang langsung naik ke mobil yang menjemput. Ada pula yang memanggil becak mesin, sementara Kak Masda mengajakku singgah ke warung sate padang.

Potongan daging sate yang empuk dan lezat segera berpindah ke mulutku, disusul potongan lontong dan kuah yang kental. Kak Masda melakukan hal yang sama. Setelah itu kami minum es tebak yang terdiri dari pepaya, kolang-kaling, roti, tape dan sirup merah. Kami sama-sama mengagumi segarnya es tebak dan kelezatan sate yang rasanya memiliki citra rasa yang tinggi dan jarang sekali kami temui di Jakarta.

Jam di pergelangan tangan kiriku menunjukkan pukul setengah sembilan malam, saat kami keluar dari warung sate padang. Hatiku mendadak resah.

“Kita naik taxi saja ya, Kak. Aku trauma naik becak. Aku pernah jatuh sewaktu naik becak kayuh di Jakarta,” kataku memohon. Saat itu becak kayuh yang kunaiki terbalik karena ditabrak sebuah metro mini. Lutut dan betisku berdarah, pinggang dan kepalaku terasa sakit sekali. Sejak itu aku tak pernah ingin naik becak lagi.

“Becak kayuh beda dengan becak mesin, Selly. Kenapa harus takut kau? Percayalah, kau akan ketagihan naik becak mesin. Kau akan merindukannya setelah kau di Jakarta nanti,” sebaliknya Kak Masda berkata penuh keyakinan.

“Kalau begitu kakak pilih tukang becaknya yang bersih, rapi, wajahnya tidak seram dan bodi becaknya masih terlihat baru,” kataku lagi, mengajukan syarat.

Kak Masda awalnya protes, syaratku dianggapnya berlebihan. Tapi demi aku, dia pun mulai memilih tukang becak sesuai syaratku itu. Beberapa tukang becak hanya memandang kami kecewa, karena kami hanya melewati mereka. Kami bahkan menyeberang ke arah tempat mangkal becak di depan hotel bintang tiga. Kami menemukan yang kami cari. Seorang lelaki memakai kaos biru dan topi hitam. Kak Masda mulai menyebutkan tujuan kami. Tapi ternyata menawar becak tidak segampang yang dibayangkan Kak Masda. Ongkos yang ditetapkan lelaki itu jauh lebih tinggi dari ongkos sewajarnya. Ketika Kak Masda menawar, lelaki itu malah turun dari becaknya.

“Dua puluh lima ribu ke Jalan Setiabudi. Siapa yang mau bawa?” teriaknya.

Teriakan lelaki itu mengundang tukang becak lain mengerumuni kami. Ada yang minta tambah, ada yang mengatakan tempat yang kami tuju jauh dan ada pula seolah tertawa mengejek. Kak Masda langsung menarik tanganku, menjauh dari tempat itu.

“Tukang becak sekarang banyak mentikonya, Sel. Kalau dulu tidak begitu. Lagipula kalau tidak cocok dengan ongkosnya, kenapa mesti teriak-teriak mengumumkan ke tukang becak yang lain? Macam kita barang dagangan aja,” sungutnya.

Lalu kami melangkah lagi. Kebetulan ada seorang tukang becak yang lewat di depan kami. Dari pantauan kami, dia sepertinya cocok dengan kriteria yang telah kami sepakati. Kak Masda langsung memanggil orang itu. Seorang lelaki paruh baya, berkulit sawo matang dan memakai jaket. Ongkos yang diminta lelaki itu ternyata lebih murah.

Design becak di Medan memang jauh berbeda dengan design becak Jakarta. Pengemudi dan penumpangnya berada di depan, diperantarai palang besi yang menyambung dengan jok tempat duduk dan tenda becak. Ada sebuah pijakan kecil di bawah tempat duduk untuk naik ke atas becak. Tempat duduknya tidak serasa mau jatuh seperti tempat duduk becak Jakarta.

“Ayo, naik. Kenapa bengong saja, Selly?” ujar Kak Masda. Mau tak mau naik juga aku ke atas becak.

Dan ketika mesin becak yang menggunakan sepeda motor honda mulai meraung-raung, aku memegang erat ujung kayu yang menyatu dengan tempat duduk kami sambil memejamkan mataku. Melihat itu Kak Masda menertawaiku dan mengatakan kami akan baik-baik saja. Beberapa saat setelah becak meluncur di jalan, baru aku melepaskan peganganku, karena sepertinya aku mulai merasa aman.

Inilah pengalamanku yang pertama naik becak mesin. Dengan tenda yang terbuka, rambutku melambai-lambai seperti sebuah bendera di atas tiang yang ditiup angin kencang. Jiwa lepas menikmati pengalaman menaiki becak yang sungguh sangat langka kualami dalam hidupku. Aku lebih terpana melihat Kak Masda membuka sweaternya dan mengikat di pinggangnya. Persis gaya anak remaja. Kami benar-benar happy. Tak ada beban sedikitpun. Mata kami leluasa menikmati panorama langit yang diterangi cahaya bulan dan bintang.

Kami melewati café-café tenda di pinggir jalan yang menjual makanan tradisional, seperti lontong malam, serabi, martabak, nasi gurih dan sebagainya. Deru becak mesin bersaing dengan laju kenderaan lain melewati gedung-gedung bertingkat, rumah sakit, hotel dan perumahan penduduk.

“Kak, rasanya aku ingin berhenti dan merasai makanan itu satu per satu. Sayang ya sudah malam, kalau tidak aku pasti mau singgah, Kak,” kataku.

“Jangan khawatir. Kita kan bakalan ke Medan lagi dan naik becak mesin lagi.”

Tiba-tiba becak yang kami tumpangi berguncang, karena roda becak melewati jalan yang berlubang. Aku dan Kak Masda merasa perut kami ikut bergoncang, sehingga kami serentak mengucapkan kata aduh.

“Untung kita tidak sedang hamil besar. Kalau tidak, bisa melahirkan kita di atas becak ini, Kak,” candaku, disambut Kak Masda dengan derai tawa.

Tawa kami semakin keras, ketika melihat seorang lelaki tua hampir menabrak mobil di depannya, gara-gara melirik kami dengan genit.

“Dasar tua-tua keladi. Makanya kalau jalan lihat ke depan,” seru Kak Masda.

Tak lama kemudian, si tukang becak membunyikan klakson beberapa kali. Beberapa meter dari arah yang berlawanan sekilas kulihat pengendara sepeda motor sedang memandang ke arah becak kami. Sesaat kemudian tahu-tahu sebuah sepeda motor mendekati becak kami dan salah satu pengendaranya secara paksa menarik kalung berlian yang dipakai Kak Masda! Kejadian itu begitu tiba-tiba dan membuat kami sangat terkejut. Di tengah rasa riang gembira kami, mendadak kami mengalami peristiwa yang sangat tidak kami harapkan. Untuk sesaat kami seperti dua orang yang linglung, tidak sadar dengan kejadian yang menimpa kami. Hal itu berlanjut sampai di rumah Kak Intan.

“Kau akan ketagihan naik becak mesin, Sel. Kau akan merindukannya setelah kau di Jakarta nanti,” kata-kata Kak Masda terngiang-ngiang di telingaku. ***

Akupunktur

Ini baju keenam yang dikenakannya. Baju itu hanya melekat sebentar di tubuhnya, selanjutnya menyusul ke lima baju lainnya. Dengan kesal tangannya mencampakkan baju itu ke tempat tidur. Dia menghempaskan tubuhnya di atas tempat tidur, tapi yang terlihat justru pantulan dirinya di depan cermin.

Sekarang beratnya tujuh puluh dua kilogram dengan tinggi badan seratus enam puluh centimeter. Kalau diukur dengan standard pengukuran berat badan, tinggi badannya dikurang seratus dikali sembilan puluh persen adalah lima puluh empat kilogram. Itu berarti dia kelebihan bobot delapan belas kilogram.

Dia merasa kalau dia pakai baju berbahan sutera kuning, tonjolan lemak di bagian belakang tubuhnya akan lebih kelihatan. Kalau pakai baju berwarna pink yang ada motif tali pinggangnya nampak ngepas di badannya, sementara kalau yang berwarna merah kesannya dia tampak lebih tua dari usianya. Belum lagi baju-baju lain yang membuatnya kehilangan semangat untuk pergi. Aneh, padahal baju-baju itu selalu menemaninya ke acara pesta pernikahan dan acara penting lainnya selama ini.

“Melvi? Ya … ampun, kau Melvi kan? Kita pernah satu kelas di SMU Pelopor Bangsa,” perempuan berparas cantik menegurnya di sebuah ATM beberapa hari lalu.

“Suci? Kau makin cantik dan langsing ya?”

“Cantik itu perlu perawatan sekaligus pengorbanan, Mel. Tidak segampang yang kau bayangkan. Kau sendiri, lagi hamil anak ke berapa? Sekarang anakmu berapa?”

“Aku nggak hamil, Suci. Aku bahkan belum pernah hamil selama empat tahun pernikahanku,” Wajah Suci berubah keruh, seolah menyimpan sebuah kecemasan.

“Bagaimana mau hamil dan punya anak, jangan-jangan masalahnya ada padamu, rahimmu diselimuti lemak sehingga pembuahan sulit terjadi? Kau harus menurunkan berat badanmu, Mel. Apa kau nggak takut suamimu bakal kecantol perempuan lain? Apa kau rela kalau suamimu lebih memilih perempuan yang bisa hamil dan melahirkan?”

‘Tentu saja aku tak rela, Suci. Tapi selama ini suamiku tidak pernah mempersoalkan masalah perubahan bentuk tubuhku dan masalah aku belum juga hamil,”

“Memangnya kau tahu di dalam hatinya dia seperti apa? Suami temanku saja di rumah baik-baik, tapi ternyata punya istri lagi di luar rumah,”

Mengingat hal itu hati Melvi resah. Kenaikan berat badannya saja tidak dapat dia halau, bagaimana pula dia bisa menghalau perubahan sikap suaminya di luar rumah? Bagaimana kalau Haris menemukan perempuan lain yang lebih menarik hatinya? Melvi berusaha menenangkan hatinya. Kembali dia mencari baju yang pantas buat dia kenakan di pesta pernikahan adik kolega suaminya. Tetap Melvi belum menemukan yang pantas.

“Baju-baju itu tidak salah, mungkin badanmu yang salah.”

“Kenapa susah-susah kau mencari baju, Mel? Mungkin daster cocok jika kau kenakan di tubuhmu.”

Entah dari mana suara itu berasal. Melvi tak sanggup mendengarnya. Kata-kata itu membuatnya sadar kekurangan dirinya yang selama ini luput dia perhatikan. Dia menutup telinganya rapat-rapat, tapi suara itu seolah terus saja memburunya. Akhirnya Melvi terhenyak di atas tempat tidur. Dia tidak kuasa membendung air matanya.

“Mel, kenapa belum selesai juga berdandannya? Abang sudah menunggumu dari tadi,” Haris menyusul ke dalam kamar. Matanya terbelalak melihat tempat tidur berantakan. Dia juga tertegun melihat kegelisahan di wajah istrinya.

“Abang sajalah yang pergi ke undangan itu, aku tidak usah ikut,” kata Melvi lemah.

Haris makin tidak paham. Tidak biasanya Melvi menolak untuk diajak pergi ke pesta pernikahan. Biasanya justru dia yang semangat, karena acaranya diadakan di sebuah hotel mewah. Tentu aneka hidangan mewah pun siap untuk disantap dengan berbagai pilihan rasa yang lezat. Beberapa saat kemudian Haris tahu penyebabnya dari Melvi.

“Kau kok mendadak aneh, Mel? Selama ini kau selalu enjoy dengan baju-baju besarmu. Kau sendiri bilang, kau tidak pernah kesulitan mencari baju. Butik langgananmu selalu menyediakan baju yang kau senangi,” tawa kecil Haris terdengar.

“Aku nggak pede memakainya, Bang. Aku makin terlihat gendut dan jelek,” kata Melvi sambil membuang pandangannya.

Haris memungut salah satu baju kesukaan Melvi, baju yang selama ini tidak pernah menjadi masalah buat istrinya. Haris lalu duduk di sisi Melvi.

“Mel, pakai baju warna pink ini. Kau cantik kalau pakai baju ini. Wajahmu makin cerah dan bersinar,” ujar Haris sambil mengangsurkan baju itu ke tangan Melvi.

Dia cantik memakai baju itu? Melvi menatap Haris tak percaya. Haris menatapnya dengan segaris senyum, sambil menganggukkkan kepalanya. Melvi tak kuasa menolak lagi.

Di tengah kemeriahan pesta pernikahan adik kolega suaminya, Melvi justru merasa gelisah. Dia hanya mengambil makanan sekedarnya. Tidak berselera untuk mencicipi aneka hidangan yang lain. Padahal di meja hidangan yang terpisah dari meja utama tersedia sate padang, martabak, mie rebus dan sejumlah kue.

“Haloo, Bang. Apa kabar? Udah lama ya tidak bertemu. Sudah berapa orang anak abang?” seorang laki-laki menepuk halus bahu Haris dan mengulurkan tangannya.

“Alhamdulillah baik. Wah, sampai sekarang saya masih bulan madu terus sama kakakmu. Belum dikasi rezeki sama Allah,” balas suaminya dengan hangat.

“Bagaimana bisa punya anak? Mungkin rahimmu diselimuti lemak, sehingga sulit terjadi pembuahan. Berhati-hatilah, siapa tahu suamimu punya wanita lain,” kembali Melvi mendengar cemoohan itu. Hatinya tak tenang, keringat dingin mengucur di tubuhnya.

Saat itu juga dia tidak lagi ingin berfikir panjang. Dia harus mengikuti program pelangsingan tubuh yang sudah direkomendasikan Suci. Tapi program pelangsingan tubuh perlu biaya tidak sedikit. Lalu darimana dia mendapatkan uang? Pikirnya lagi. Tidak mungkin dia meminta dari suaminya. Setiap bulan suaminya harus mengeluarkan biaya cukup banyak untuk cicilan rumah, mobil, televisi 32 inchi dan biaya-biaya lainnya.

Pilihan Melvi jatuh pada salah satu cincin di jarinya. Mau tak mau Melvi pergi ke toko emas dan menjualnya. Melvi pun kini tercatat sebagai salah satu pasien akupunktur.

“Akupunktur berasal dari kata acus yang berarti jarum dan punktura yang berarti penusukan. Suatu metode terapi dengan penusukan pada titik-titik di permukaan tubuh untuk mengobati penyakit maupun pelangsingan tubuh dan metode kecantikan lainnya. Akupunktur memakai jarum sekali pakai untuk menghindari infeksi.”

“Pengobatan tradisional Cina ini telah dikenal sejak 2,500 tahun lalu. Proses terapinya menggunakan jarum-jarum untuk menstimulasi titik-titik tertentu yang dipercaya dilalui energi yang disebut ‘meridian“. Jarum ditusukkan tepat di jalur meridian sebagai jalur akupuntur. Teknik Akupuntur inilah yang kemudian digunakan untuk memperbaiki energi yang mengalir dan tidak seimbang di dalam tubuh kita,”

Kadar lemak Melvi diukur, begitu juga dada, pinggang, perut dan lengan Melvi. Dalam keadaan berbaring, ahli akupuntur memilih titik-titik di tubuh Melvi untuk distimulir. Jarum-jarum itu dibenamkan ke dalam tubuh selama 30 menit. Awalnya Melvi merasa gentar melihat jarum di tubuhnya dialiri listrik, tapi tekad Melvi sudah bulat.

“Selama seminggu, telingamu akan ditusuk dengan jarum telinga atau press needle yang direkatkan dengan plester. Setiap kamu merasa lapar, cukup tekan jarumnya selama 2-3 menit atau setengah jam sebelum waktu makan, tiga kali sehari. Efek tekanan jarum di telinga ini akan merangsang ramus auricularis nervus vagus, yaitu saraf-saraf yang ada di daun telingamu dan berhubungan dengan sistem pencernaan bagian atas. Jadi, kontraksi otot di lambung saat kamu lapar bisa ditekan sehingga kerja lambung menjadi tenang,” ujar akupunkturis. Melvi mengangguk mantap.

“Memangnya kau bisa diet? Ya sudahlah, terima saja kenyataan kau tidak bisa kurus. Mau apalagi?”

Mendengar itu telinga dan hati Melvi panas bukan main. Melvi menjalankan dietnya ketat, ditambah latihan olahraga ringan di rumah. Kalau biasanya Melvi menghabiskan sebungkus nasi padang di kantor, kini Melvi seolah takut dengan nasi. Melvi juga menolak cemilan, seperti coklat, roti, es krim dan jenis makanan berlemak lainnya. Kalau suaminya mengajak makan di luar, Melvi menolak keras. Alhasil lemak di tubuh Melvi sukses terusir dari tubuhnya, tapi metabolisme tubuh Melvi terkejut. Melvi jatuh sakit. Akhirnya dia terus terang pada suaminya tentang terapi akupunktur dan diet yang dia lakukan.

“Mel, kalau pun badanmu tidak bisa kurus, tidak masalah. Kau lihat, abang juga makin gemuk setelah kita menikah. Kau jangan sampai terlalu keras pada dirimu sendiri. Abang mencintaimu apapun yang ada di dirimu,” ujar suaminya penuh kelembutan.

Sempat Melvi tergugah dengan ucapan itu dan berfikir untuk menghentikan terapinya, tapi tidak! Dia harus terus menjalani terapi. Melvi jadi ingat beberapa pasien yang dengan sabar menjalani terapinya sampai menampakkan hasil yang diinginkan. Ada pasien yang ingin menghilangkan jerawat, garis-garis halus atau keriput. Ada pasien autis. Ada pasien yang ingin gemuk. Ada pasien yang menderita sakit kepala dan sebagainya.

Setelah sepuluh kali menjalani terapi, bobot Melvi berkurang 7 kilo. Melvi mulai merekomendasikan terapi akupunktur untuk teman-teman dan kerabat dekatnya. Melvi kerap mencontohkan dirinya sebagai pasien yang berhasil. Banyak yang tertarik, mereka ikut melihat Melvi diterapi. Minggu lalu Melvi mengajak Ratna, teman kantornya. Kemarin Kak Farah, kerabatnya dan hari ini Mimi, kenalannya. Yang lain masih bertanya-tanya lewat telepon dan Melvi dengan senang hati menanggapinya. Dia selalu bilang, tidak ada keajaiban, melainkan menjalani terapi dengan sabar dan tekad yang kuat.

Sampai suatu hari, Melvi kembali diserang rasa mual, ingin muntah. Kepalanya sakit terasa sempoyongan. Mungkin tekanan darah Melvi turun atau maag Melvi kambuh. Padahal Melvi tidak lagi sekeras pada waktu itu menjalankan diet. Kali ini suami Melvi mengeluarkan pernyataan untuk berhenti menjalani terapi akupunktur dan diet. Melvi tidak merespon, karena keinginan untuk muntah terus menggelitik perutnya.

Dia dibawa ke dokter untuk diperiksa. Tanpa disangka, dokter malah mengucapkan selamat pada sepasang suami istri itu. Ternyata…dia positif hamil!

“Alhamdulillah daku halim, eh hamil. Hm, baru aja kuyus ntar ndut lagi deh,”

“Hush. Nanti setelah melahirkan kan bisa diet lagi, sayang,”

Melvi menatap lembut suaminya. Hari ini dia merasa sangat bahagia, ada calon bayi berada di dalam rahimnya. Untuk sementara dia singkirkan keinginan untuk melangsingkan tubuh. Lagipula dia kini sadar, ternyata suaminya mencintainya, gemuk ataupun kurus. Suara-suara cemooh itu pun sudah tidak lagi mengikuti ke mana Melvi pergi. Dia menghilang. ***

Harga Diri

Surti :

Aku merasa malam menjadi sangat panjang. Aku ingin cepat meraih pagi, bertemu matahari agar aku bisa mendengar suaranya menyapa gendang telingaku dan menemu wajahnya yang selalu membayang di pelupuk mataku.

Cahaya fajar seolah membangunkanku dari tidur. Aku segera beranjak dari tempat tidur dan mulai membenahi pekerjaan rumah. Mengumpulkan semua pakaian kotor di dalam sebuah ember dan menuangkan bubuk detergen secukupnya. Setelah itu kusibak gordyn jendela. Kubuang puntung rokok Ardi di dalam asbak dan beberapa bekas bungkus kacang atom. Kucuci gelas bekas minuman kopi Ardi bersama gelas dan piring kotor lainnya.

Setelah melaksanakan sholat Shubuh aku menjerang air, menyapu rumah kemudian mulai mencuci. Sepanjang tanganku bergerak di atas tumpukan pakaian kotor, aku merasa ada yang berbeda dalam hidupku. Aku menjadi lebih bersemangat menjalani rutinitasku. Aku juga merasa enjoy dengan diri dan hidupku. Dari bibirku mengalun sebuah lagu happy.

“Cinta satu malam, oh indahnya. Cinta satu malam buatku bahagia…”

“Gembira sekali kau hari ini, Tik. Pasti hatimu lagi senang ya,” Ardi tiba-tiba muncul di depan pintu kamar mandi. Kehadirannya mengejutkanku.

“Memangnya artis saja yang boleh menyanyi, Bang?” jawabku. Cepat-cepat kuselesaikan cucian dan menyiapkan sarapan untuk Ardi.

Selagi memasak mie telor, Ardi yang sudah selesai mandi berdiri di belakangku.

“Sejauh mana terapi yang sudah kau lakukan, Tik? Apa kata tabib yang mengobatimu?” tanyanya.

“Aku disuruh rajin terapi dan secara teratur minum obat yang diraciknya, Bang,” kataku menunjuk sebuah gelas yang berisi ramuan dari beberapa tumbuhan tradisional.

“Dia mengatakan kapan kau akan hamil?” tanyanya lagi.

Aku memindahkan mie telur ke sebuah piring.

“Dia tidak pernah memastikan kapan aku bisa hamil, Bang. Kehamilan itu kan merupakan rahasia Tuhan, yang penting kita tetap berusaha untuk bisa punya anak,”

“Apa perlu kita mencobanya pagi ini sebelum aku berangkat ke pabrik, Tik?” bisik Ardi sambil memelukku dari belakang. Hatiku berdebar.

“Jangan sekarang, Bang. Pagi ini aku harus terapi lagi,” ujarku melepaskan diri.

Ardi menatapku agak lama, sebelum menghabiskan sarapannya. Aku hanya makan sedikit. Pikiranku tertuju ke tempat lain.

Aku ke luar dari rumah dengan hati-hati, seperti seekor kucing yang ingin mengambil sesuatu di rumah tuannya dan takut ketahuan mencuri. Jantungku berdegup lebih cepat, rasanya ingin cepat sampai ke tujuan. Perasaanku berubah menjadi amat lega, ketika dari bangku angkot yang membawaku aku melihat lelaki itu ada di simpang jalan.

“Kau selalu terlambat. Selalu aku yang lebih dulu sampai,” katanya.

“Tentu saja kau lebih awal sampai. Kau tidak harus mengerjakan apa-apa di rumah seperti aku,” sahutku sambil duduk di boncengan sepeda motornya.

Kami berangkat menuju sebuah lokasi yang direncanakan Iwan. Berada di pinggiran kota, bukan saja nyaman untuk berteduh dari panas dan hujan, tetapi juga terletak di sebuah bukit yang di bawahnya mengalir sungai. Di sekitarnya ditumbuhi pohon dan bunga-bunga yang indah. Angin bertiup lembut membawa nuansa kesejukan. Sesekali terdengar suara burung-burung yang menyatu dengan nuansa alam.

“Wan, kenapa ya aku selalu terngiang-ngiang kata-kata Kak Mirna? Aku tak ubahnya kue bolu yang bantut. Aku seperti ladang kering yang tidak menghasilkan tanaman. Mungkin baginya aku seperti gurun pasir yang gersang,”

“Hei, dengar. Kau tidak seperti itu. Kalau kau sakit, pasti ada obat yang akan menyembuhkanmu. Begitu juga kalau kau ingin hamil, banyak cara yang dapat kau lakukan untuk mencapai keinginanmu. Lagipula tidak sepantasnya kakak iparmu terlampau ikut campur dalam urusan rumah tangga kalian,”

“Kau orang yang paling memahamiku, Wan. Kalau tak ada kau, entah bagaimana rapuhnya aku,”

“Kau harus yakin. Aku akan mengobatimu. Kau harus rajin mengikuti arahanku, mengkomsumsi ramuan yang telah kuracik. Aku akan terus berusaha untuk mewujudkan impianmu,”

Aku menganggukkan kepala, menatap lelaki di hadapanku tanpa canggung. Sebelum kami bisa sedekat ini, acapkali aku merasa ditikam sunyi dan hampa, seolah aku tenggelam di antara keramaian dunia. Lima belas tahun menikah tanpa kehadiran seorang anak dari rahimku membuat cap jelek terarah padaku.

Aku sedih, kecewa. Aku merasa galau dan lebih pendiam dari biasanya. Gairah hidupku menurun drastis. Suatu hari di tengah rapuh perasaanku, aku ke luar dari rumah dan bertemu lelaki itu tanpa sengaja. Entah kenapa lelaki itu seolah dapat merasakan apa yang kurasakan. Kata-katanya menentramkan hatiku. Perhatiannya membuatku seperti disiram kesejukan.

“Surti, kau sedang memikirkan apa? Sudahlah, kau jangan terlalu keras berfikir. Aku tidak suka melihat wajah cantikmu berubah tegang dan lelah,” lelaki itu menyentuh kepalaku tanpa malu-malu dan membelai rambutku.

Aku mengangguk. Kali ini kubenamkan kepalaku di dadanya.

Ardi :

Senja mulai jatuh, matahari sebentar lagi beranjak ke peraduannya. Sejak ke luar dari pabrik tempatku bekerja, hatiku tidak tenang. Setiapkali Surti pergi untuk terapi, dia akan pulang setelah maghrib, karena harus mengantri di tempat praktek tabib.

Sembari mengendarai sepeda motorku di jalan, aku memikirkan Surti. Tiba-tiba hatiku dilanda resah. Sejak awal sampai sekarang, aku tidak pernah diikutsertakan menjalani terapi. Surti tidak pernah memberiku ramuan khusus agar dapat kukomsumsi. Bukankah sebagai suami Surti, aku harusnya ikut juga diperiksa? Sampai sekarang aku bahkan tidak tahu seperti apa tabib yang menerapi Surti. Demi melihat semangat yang menyala di dalam dirinya, aku menahan diriku untuk bertanya padanya.

Aku kini tidak akan tinggal diam. Aku akan terus memantau gerak gerik Surti. Aku ingin sekali tahu tentang apa dan bagaimana terapi yang dilakukannya selama ini. Aku tidak ingin terus membiarkan perasaan tidak menentu bersarang di dalam hatiku.

Surti :

Bau busuk itu tercium juga, meski sepandai-pandainya aku menutupinya. Ardi melihatku sedang berboncengan bersama lelaki itu di jalan. Aku gemetar, seluruh tubuhku ikut bergetar. Sampai di rumah aku tak sanggup mengangkat wajahku di depannya. Sapu yang kupegang terjatuh. Gelas berisi kopi yang akan kuberikan untuk Ardi terlepas dari tanganku, terpelanting jatuh dan pecah di lantai, isinya tumpah dan mengenai celana jeans Ardi. Belum pernah aku merasa ketakutan seperti ini.

“Siapa laki-laki itu, Tik? Kenapa kau bisa berada di boncengannya? Jadi selama ini kau telah membohongiku dengan minta izin keluar rumah untuk terapi, nyatanya kau pergi bersama laki-laki itu?” suara Ardi berubah keras dan diwarna emosi.

Aku tidak bisa berkutik. Diam bagai patung. Seperti seekor kucing yang telah ketahuan oleh tuannya mencuri ikan dan dimarahi habis-habisan. Ardi terus memberondongku dengan pertanyaan-pertanyaannya. Seperti rentetan bunyi senjata yang dilepas seorang aktor di film laga terhadap musuh-musuhnya. Apalah dayaku, tanpa menunggu waktu lama aku pun mengungkapkan semuanya.

Kuceritakan dari awal aku bertemu lelaki itu, bagaimana dia memperhatikanku dan seolah mengetahui seluk beluk rahimku yang sunyi. Dia bahkan mempunyai cara untuk mewujudkan impianku memiliki keturunan. Entah kenapa aku begitu mempercayainya, mengikuti semua arahannya. Sampai-sampai kuberikan apa yang seharusnya selalu kujaga dan kuharamkan buat orang lain kepadanya.

Sunyi. Tak ada makian atau pukulan Ardi mengenai anggota tubuhku. Tiba-tiba aku seperti dibangunkan dari sebuah mimpi buruk. Kupeluk tubuh Ardi yang geming, kucium tangannya bercampur linangan air mataku. Terduduk aku di atas lantai, memeluk lututnya sembari mengucapkan kata maaf yang mungkin terdengar sumbang di telinganya. Tubuhnya membalik dariku, lalu terdengar rintihan suara tangisnya disertai suara pukulan tangannya ke dinding rumah kontrakan kami.

Ardi :

“Kau hanya punya dua cara, memaafkannya atau menceraikannya. Tinggal kau pilih yang mana. Terserah kau. Asal kau jangan nekat membunuh orang. Seumur hidup kau tak akan tenang.” Sebuah suara bergaung dari bilik hatiku yang tengah mengusung amarah dan sakit hati. Aku geming sekian lama, tak tahu apa yang harus kulakukan dan apa yang harus kupikirkan.

Bagaimanapun aku tidak akan menyalahkan istriku atas semua ini. Aku sangat mengenal Surti selama lima belas tahun perkawinan kami, ditambah masa pacaran selama dua tahun. Mungkin ketika Surti sedang rapuh dan butuh pegangan atas problem yang terjadi dalam rumah tangga kami, laki-laki itu hadir seolah menjadi pahlawan baginya. Dia membuat surti melupakan aku, rumah tangga kami dan segala-galanya. Bagi Surti kini lelaki itulah segalanya. Lelaki yang tidak jelas pekerjaannya dan tinggal di sebelah kelurahan kami bersama istri dan anaknya.

Aku tidak akan menyakiti surti, karena aku mencintainya, tapi aku membenci lelaki itu. Tidak pernah aku sangka, di balik terapi Surti selama ini, Iwanlah yang berperan sebagai aktor sekaligus sutradara untuk semua kebohongan yang diciptakannya. Tabib palsu, bohong-bohongan, fiktif. Tabib kurang ajar.

Tidak perlu ada kompromi atau negosiasi untuk sebuah langkah menebus harga diri! Itu yang ada dalam pikiranku kini. Tiba-tiba terlintas rencana-rencana di otakku. Lelaki itu saja bisa menjadi sutradara yang ulung, kenapa aku tidak?

Surti :

“Tunggu aku di simpang jalan itu. Kita harus bertemu. Aku kangen kau,” hatiku berdebar kencang membaca sms dari Iwan. Aku menggeleng kuat. Tidak mungkin, bisik hatiku. Aku tidak memiliki keberanian untuk menemui lelaki itu lagi. Sungguh! Tapi Ardi memberitahukan kalau dia lembur malam ini, bisik hatiku lagi. Aku akhirnya memilih untuk pergi.

Sampai di simpang jalan itu, mataku membelalak lebar. Seketika tangisku pecah. Langit di atasku seakan rubuh menimpaku. Diantara keramaian orang-orang, aku melihat dua tubuh lelaki tergeletak penuh memar dan bersimbah darah. Apa yang terjadi? Ardi, bagaimana dia bisa berada di tempat ini, sedangkan dia mengatakan lewat sms bahwa dia akan lembur malam ini? Dan Iwan, bagaimana dia bisa mengirimkan pesan singkat yang beberapa menit lalu kuterima? Aku jatuh terjerembab di tanah dengan kecamuk tanya yang tidak mampu aku temukan jawabannya.

Tiba-tiba di tengah deras air mataku, aku merasakan tubuh Ardi bergerak di pangkuanku. Separuh matanya yang memar dan terluka menatapku.

“Surti sayang, aku menang. Aku telah mengalahkan lelaki itu lewat pertarungan yang hebat. Aku menang, Tik,” lalu mata itu kembali terpejam.

Selasa, 08 Maret 2011

Bukan Sekedar Kata Maaf

Laki-laki itu sedang memeriksa mobilnya. Sebentar lagi, dia dan keluarga kecilnya akan berangkat menuju sebuah tempat wisata di kota Medan. Persiapan mobil telah benar-benar dia lakukan. Dari pengecheckan mesin, ban, dan sebagainya. Dia juga tidak lupa membawa segitiga pengaman, dongkrak, racun api dan kotak P3K.

Hari ini hari lebaran. Langit tampak putih, cerah tak berawan. Tampaknya langit dan cuaca ikut merasakan kebahagian yang dirasakan sebagian warga bumi, merayakan hari penuh makna ini. Dari corong mesjid, dari televisi dan dari bibir anak-anak kecil terdengar gema takbir berkumandang. Syahdu.

Lebaran telah tiba. Semua umat Islam menyambutnya dengan gembira. Hari kemenangan setelah berpuasa selama satu bulan. Kemenangan dari jeratan syaitan yang selalu menggoda manusia dengan berbagai cara yang menyesatkan.

Beberapa rumah tetangganya diramaikan kehadiran para kerabat dan tamu-tamu mereka. Ramai dan riuh. Namun tak lama, ada suara tangis bersahutan. Dia menurunkan kaca mobilnya dan memperhatikan lebih seksama ke arah rumah pak Jali. Tiba-tiba dia kaget. Di beranda rumah pak Jali, ada abang dan kakak iparnya, yang baru sampai dari Madina beserta anak-anak mereka.

Dahinya menyerngit. Setahu dia, selama ini di antara pak Jali dengan abangnya tidak terjalin hubungan silaturrahmi yang baik. Hubungan mereka terputus, karena adanya masalah seputar pembagian harta warisan almarhum orang tua mereka. Tapi kini, apa yang membuat mereka dapat akur kembali?

“Jali, sudah sekian lama silaturrahmi di antara kita terputus. Kita menjadi dua orang yang bermusuhan. Tak kenal dengan pribadi masing-masing. Tapi mulai sekarang, kita kubur semua perselisihan dan permusuhan di dalam hati kita. Abang minta maaf, kalau selama ini telah keliru menilai kau, Jali. Ternyata kau tidak seperti yang abang kira.”kata lelaki enam puluh tahun itu, tak melepaskan rangkulannya.

“Seharusnya akulah yang meminta maaf pada abang. Mungkin, sebagai adik aku tidak memahami perasaan abang. Apapun masalah yang kita hadapi, sebaiknya kita selesaikan dengan cara bermusyawarah, Bang. Kita tidak perlu bermusuhan, apalagi sampai memutuskan tali silaturrahmi. Istri dan anak-anak kita ikut menjadi korban permusuhan kita,”

Kedua abang beradik itu saling menumpahkan rindu, karena telah lama tidak berjumpa. Air mata mengalir dari kelopak mata mereka. Istri-istri mereka pun begitu. Anak-anak justru lebih pintar menyesuaikan keadaan. Mereka saling bercanda dan bekerjaran di halaman. Pandangan itu membuat hatinya berdesir. Seperti ada ombak bergulung-gulung di hatinya.

“Papaaaaa, kita sudah siap. Ayo, berangkat.”tiba-tiba lamunannya terpental dengan teriakan Silvi, anak ke tiganya. Bersama mamanya, Silvi dan dua kakaknya Samira dan Arif bergegas menuju mobil.

Dia kembali ke dalam rumah. Memeriksa semua pintu dan jendela. Setelah merasa semua aman, dia langsung menuju mobil.

“Bismillahirrahmanirrahim,”katanya mengawali perjalanan.

Di sepanjang jalan, tampak orang-orang bersiap-siap untuk pergi. Wajah mereka cerah ditimpa sinar mentari pagi. Pakaian mereka tampak bersih dan baru. Pasti mereka tidak ingin melewatkan hari penuh makna ini. Tentu mereka akan bersilaturrahmi ke keluarga, kerabat, ataupun temannya. Saling mengucapkan selamat datang idul fitri dan saling bermaafan. Mungkin tak seorang pun melewati hari ini dengan kesedihan.

“Andi, zaman sekarang ini, kayaknya lebih baik menganggap orang lain sebagai saudara, daripada saudara kandung kita sendiri. Saya pikir, sudah sulit sekali saya untuk berbaikan kembali dengan abang saya. Hubungan kami seperti sudah tamat,”kata pak Jali suatu senja di ambang teras rumahnya.

“Mungkin perasaan kita tidak berbeda, Pak. Saya juga merasakan hal yang sama dengan Bapak. Lebih baik kita mempererat hubungan bertetangga di antara kita ya, Pak. Daripada mengharapkan saudara kandung sendiri,”jawabnya.

Dia menarik nafas. Tiba-tiba melintas wajah kakaknya. Sudah enam tahun, dia tidak berbaikan dengan kakaknya. Bukan karena ada pertengkaran hebat di antara mereka atau perkelahian sengit. Hanya masalah sepele. Biasalah di kalangan saudara, terkadang suka iseng mengejek iparnya. Suami kak Raudah memang insinyur, tapi tidak punya karir. Hanya sebagai dosen perguruan tinggi swasta. Dosen terbang pula. Sementara kalau bicara seperti tahu segalanya.

“Insinyur bagaimana, paling-paling juga insinyur bantut. Tidak menghasilkan karya apa-apa. Omongannya saja yang besar, padahal nggak ada apa-apanya lah. Dia bisa hidup enak juga dari harta warisan kak Raudah,”

Pasti orang ketiga telah mengadu domba mereka. Di antara dia, kak Raudah dan abang iparnya. Bukankah orang ketiga lebih suka memecah belah? Memang itulah pekerjaan mereka. Mereka sangat senang kalau umpan mereka termakan oleh mangsanya. Buktinya tak jelang lama, kak Raudah meneleponnya. Kata-kata yang dilontarkan kepadanya sangat pedas. Sangat menyakitkan!

“Hebat kau, ya. Apa rupanya salah abang iparmu, sehingga kau menjelek-jelekkan dia? Apa kau lupa, kau bisa hidup enak dari warisan orang tua kita? Dan satu lagi. Kau pikir istrimu bagus sekali? Kakak dan adiknya kena stress, menjelang gila. Jangan-jangan istrimu bakal menyusul!”

Pertengkaran itu berbuntut panjang.

Di hari-hari selanjutnya, mereka jadi membungkam diri satu sama lain. Tiada sapa dan perjumpaan di antara mereka. Masing-masing dengan kehidupan sendiri. Bila bertemu tak sengaja di acara-acara kerabat dekat mereka, acapkali mereka saling membuang muka. Tidak memedulikan kehadiran satu sama lain. Mereka juga mundur dari acara arisan keluarga yang rutin setiap bulan.

“Lihat, Yah. Di mobil pick up itu banyak sekali penumpangnya. Seperti membawa kambing saja,”seru Arif mengejutkan.

“Hush. Tidak boleh menyepelekan orang lain, Nak. Mereka pasti sedang menuju rumah saudaranya. Mau merayakan lebaran bersama-sama. Kita harus bersyukur tidak kepanasan atau kehujanan seperti mereka.”jawab mama Arif. Andi menatap Arif dan mamanya dengan senyum. Lalu pandangannya kembali terarah ke jalan raya.

Bukankah hari lebaran seharusnya berkumpul dengan semua keluarga? Itulah hikmah Idul Fitri yang terbesar. Tapi kenapa dia mesti berangkat ke tempat wisata, membawa serta keluarga kecilnya? Tidakkah dia salut melihat tetangganya berbaikan kembali, setelah permusuhan merajai hati mereka? Tidakkah dia juga merasa kagum kepada orang-orang yang pulang mudik ke kampung halamannya, menempuh perjalanan yang lumayan jauh dan melelahkan hanya untuk bertemu dengan keluarga mereka tercinta?

Tiba-tiba jalanan di depannya macet. Klakson dari para pengguna jalan sahut menyahut. Satu bukti sikap ketidaksabaran yang dimiliki manusia. Dari arah kanan dekat tikungan jalan, tampak beberapa orang mengusung sebuah keranda. Disusul beberapa orang berjalan di belakang mereka. Menuju pekuburan umum.

“Innalillahi wa inna ilaihi ro’jiun.”ucapnya dengan satu keterkejutan. Hatinya berdebar tak menentu. Entah kenapa.

“Tidak seorangpun mengetahui kapan dia akan meninggalkan dunia fana. Maka, sebelum hal itu terjadi, kita harus persiapkan diri kita dengan amal dan ibadah yang sebaik-baiknya supaya ada bekal menuju hari akhirat,”kata-kata ustadz Taufik tiba-tiba menggema di telinganya.

Apa yang tidak dia lakukan demi kebaikan? Selama bulan puasa, dia melakukan ibadah puasa dengan baik. Dia juga banyak bersedekah kepada orang yang kurang mampu. Sholat tarawih tetap dia tegakkan, begitu juga sholat tahajud sebelum makan sahur. Tapi ketika dikaitkan dengan saudara kandungnya, dia sama sekali tidak ada artinya. Apakah amal ibadahnya itu akan diterima Allah, bila kepada saudaranya sendiri dia tidak bertegur sapa dan menjalin silaturrahmi?

Di depannya jalanan sedang lengang. Tiba-tiba sedang berfikir-fikir begitu dia membelokkan setir ke kanan. Mobil pun mengikuti gerakan dari tuannya menuju arah yang berlawanan dengan tujuan mereka sebelumnya. Ada apa ini? Istri dan anaknya saling pandang tak mengerti. Berbagai pertanyaan terlontar dari mereka, tapi dijawabnya dengan singkat.

“Lihat saja nanti. Tenang saja kalian di boncengan,”katanya dengan gurau.

Sampai di beranda rumah kakaknya, dia serasa mau pingsan melihat ke arah pintu. Kakaknya duduk di atas kursi roda. Dadanya bergemuruh. Segera langkah kakinya membawanya di hadapan kakaknya.

“Maafkan segala kesalahanku selama ini, Kak. Bahkan aku tidak tahu, kakak sakit dan harus berada di kursi roda. Aku adik tak berguna, Kak. Maafkan aku.”tangisnya meledak kini. Dia memeluk erat tubuh ringkih kakaknya, dengan segala perasaan berdosa yang selama ini dia biarkan tumbuh subur di hatinya.

“Tak ada seorang manusia yang luput dari kesalahan, Dik. Kakak juga minta maaf atas semua kesalahan kakak. Sudah saatnya kita kubur semua masa lalu. Umur tidak bisa ditentukan. Besok lusa kakak meninggal, kakak ingin kau di barisan paling depan membawa mayat kakak,”kakaknya tak kalah sedihnya. Suasana haru menyeruak di rumah itu.

Tak henti-hentinya Andi mensyukuri nikmat idul fitri ini. Tidak ada lagi kebencian dan permusuhan di hatinya. Andi bertekad akan lebih memperhatikan dan menyayangi kakaknya, lebih dari apa yang dapat dia perbuat pada tetangganya. Dia tidak ingin menyia-nyiakan hari-harinya tanpa saudaranya lagi. Seperti kekeliruan yang telah dibuatnya selama ini.

***